Purifikasi atau Rahmatan Lil’alamiin
Ramadhan 1443 H, alhamdulillah Majlis Pendidikan Kader (MPK) bersama crewnya ditakdirkan Allah berkesempatan bersilaturrahmi di beberapa PCM wilayah barat kabupaten Bojonegoro “sambang PCM”. Melalui kegiatan bertajuk Baitul Arqam pimpinan, selain pemantapan ideologi Muhammadiyah, Manhaj Tarjih, juga melakukan penjajagan formulasi da’wah yang paling tidak kedepan mampu meningkatkan kualitas terutama kuantitas Anggota Muhammadiyah “yang terkesan mengalami pemandegan kader”.
Dalam arti lain tidak terjadinya penambahan anggota, bahkan cendrung kehabisan anggota “Cabang Papan Nama” yang telah kehilangan dan atau kehabisan anggota.
Realitas demikian, setidaknya terdapat tiga varian penyebab; 1) Ketakutan masyarakat akan label Muhammadiyah “Cap Muhammadiyah” yang menakutkan karena gerakan purifikasi islam (TBC/K) yang menjadikannya tersingkirkan dan dikucilkan masyarakat yang notabene masih dilingkupi adat istiadat, budaya yang mendarah daging di mayoritas umat. 2) Kurangnya daya tarik Muhammadiyah, karena kurang dapat menjawab kebutuhan masyarakat secara luas (kebutuhan primer petani, pedagang kecil UMKM, atau kurang keren bermuhanmadiyah yang salah satunya disebabkan tidak adanya tempat berpijak untuk beraktivitas Muhammadiyah “belum memiliki tempat aktivitas permanen yang bisa dibanggakan, dan 3) format da’wah muhammadiyah yang masih model lama “Da’wah podium” hingga tidak mampu memiliki daya tarik kaum milinial yang cendrung “digitalisasi” atau tergeser model da’wah Islam kelompok lain.
Ketiga persoalan ini menjadi paradog dengan jargon Muhammadiyah dengan “islam berkemajuan”.
Beragam tanggapan pun muncul sebagai solusi ” Balsemisme” yang bersifat pereda nyeri sementara melalui sederet pernyataan yang dapat dibilang “apologic”, … ya kita tetap jalan! sabar kekuasaan sedang tidak dikita! jangan iri dengan mereka! dan lain-lain yang lebih terkesan sebagai ” Harakah” organisasi gerakan sosial. Semua terkesan “hangat-hangat tahi ayam”. Dibilang purifikasi, sementara sebagian besar tidak memahami ideologi gerakan dan manhaj tarjih, karena keterbatasan akses dan “ekonomi”. Dibilang ” Rahmatan lil ‘alamin” memberi rahmat bagi sekalian alam, namun belum mampu memberikan jawaban atas kebutuhan mendasar ekonomi, sosial masyarakat (kelangkaan dan mahalnya harga pupuk, rendahnya harga hasil produk pertanian akibat merajalela nya tengkulak, minimnya kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup karena ekonomi masyarakat yang belum menentu dan mrajalelanya rentenir yang banyak membelit kehidupan masyarakat menengah kebawah, dan formulasi da’wah yang menyenangkan menggembirakan).
Kondisi cabang barat ini bisa di kata sedikit bertolak belakang dengan kondisi di kota dan cabang timur “PCM wilayah timur Bojonegoro”, meski beberapa sekolah yang dimiliki Muhammadiyah yang notabene sebagai salah satu tempat “Pembibitan kader” mulai kehilangan dan kekurangan siswa, yang disebabkan salah satunya kurangngnya sekolah untuk mampu dan mau mengikuti perkembangan kemajuan zaman, kurang inovatif, dan ghirah yang kian menurun, sementara rivalitas semakin setahap tampak modern dan mengikuti zamannya.
Tentu ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap aman atau “wajar-wajar saja”. Sementara tuntutan kemajuan zaman, sistem pemerintahan mengharuskan Muhammadiyah tetap dituntut bergerak dan memberikan pecerahan bagi umat dan bangsa. Sisi lain sistem perpolitikan yang menganut Demokrasi liberal “Cendrung Patron”, tentu kurang menguntungkan Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang relatif kecil “sedikit” , menuntut kecerdasan agar mendapatkan kemenangan dalam konstelasi politik daerah.
Teologi almaun, teologi al insyirah, teologi al asr dan lain-lain, serta potensi yang sekarang dimiliki, kedepan haruslah memiliki skala prioritas, hingga tidak ada lagi “cabang papan nama”. Juga dibutuhkan keinginan baik ” Goodwill ” Pimpinan Daerah yang eksistensinya tidak bisa dilepaskan dari Cabang dan ranting yang tersebar di Bojonegoro.
Pilihan Muhammadiyan dengan kepemimpinan “Kolektif Koligial” hakekatnya juga potensi Muhammadiyah yang seluruh putusan dan kebijakannya lahir atas kolektif bukan kelompok atau bahkan personal.
Dan jawaban sementara adalah tetap ada jalan atas kelokan-kelokan jalan dan terjalnya jalan, seyampang kemauan dan niat baik masih menghunjam dihati sanubari seluruh warga persyarikatan. Ridallah. (M. Yazid Mari)