Memuhammadiyahkan Muhammadiyah

BojonegoroMu.com
Kelahiran persyarikatan muhammadiyah secara historis merupakan sebuah keinginan agar aqidah umat tetap pada frame keIlahian. Ini menjadi sangat penting, karena konsep Tauhid “keTuhanan” adalah sebuah kekuatan yang akan membentuk manusia yang benar dalam beribadatan “shahihul ibadah” dan terpuji dalam berahlaq “ahlaqul karimah”. Kedua hal inilah yang kemudian menjadi watak muhammadiyah dan orang muhammadiyah, yaitu gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid. Da’ wah amar ma’ruf mewujud dalam bentuk kesediaan untuk mengajak melakukan kebaikan, sementara nahi munkar mewujud dalam bentuk mencegah segala bentuk kemungkaran, sedangkan tajdid mewujud dalam bentuk puirifikasi peribadatan, dan inovasi gerakan yang terbuka dan mencerdaskan.
Mengajak kebajikan menjadi keinginan kuat baik dalam perspektif organisasi dan juga individu-individu persyarikatan. Inilah yang kemudian melahirkan bentuk bentuk riil proteksi dan keperpihakan terhadap umat dengan berdirinya Rumah sakit, panti asuhan, lembaga pendidikan, pondok pesantren, serta bentuk lain. Dalam arti lain bahwa berdirinya amal usaha yang kemudian disebut AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) tidak lain adalah sebagai pelangsung penyempurna gerakan persyaratan. Akan tetapi dalam realitas seringkali AUM bergeser dari tujuan persyarikatan.
Banyak indikator mengapa AUM demikian adanya? Tentu kedepan haruslah menjadi pemikiran bersama seluruh pimpinan disemua tingkatan, dan seluruh warga muhammadiyah.
Sebuah contoh, Hasil penelitian dari sejumlah 710 karyawan AUM (rumah sakit, pendidikan), di Bojonegoro hanya sekitar 15 persen yang mengerti dan memahami Muhammadiyah, belum lagi jika dilihat dari keterlibatan di cabang atau ranting, lebih ironis lagi bila dilihat dari amaliah ibadah masih jauh dari tuntunan Rasulullah “tarjih”.
Tentu ini adalah akan menjadi persoalan jika tidak segera dilakukan penyelamatan. Langkah alternatif tentu pertama adalah proses rekruitmen, pola pembinaan, serta sistem reword dan sanksi. Sehingga kedepan karyawan AUM tidak saja bertanggungjawab terhadap tugas dimana ia bekerja, namun juga harus mengembangkan muhammadiyah dimana ia tinggal.
Tentu di butuhkan sinergitas antar majelis, serta cita-cita besar untuk membesarkan Muhammadiyah.
Nahi munkar, nerupakan sikap keberanian muhammadiyah untuk mencegah kemungkaran, baik dalam internal organisasi serta eksternal. Intetnal organisasi terwujud dalam ketegasan sikap muhammadiyah terhadap kesalahan karyawan muhammadiyah yang melanggar qaidah persyarikatan, yang sejauh mungkin menghidari subyektivitas keputusan. Dalam eksternal dibutuhkan sikap kritis konstruktif muhammadiyah disemua tingkatan, terhadap kebijakan kebijakan publik yang tidak memenuhi rasa keadilan dan melakukan proteksi terhadap ketidakperdayaan umat atas lahirnya sebuah kebijakan.
Dalam perspektif tajdid, dibutuhkan lompatan-lompatan pemikiran dalam menggerakkan persyarikatan yang lebih modern dan berdaya saing, serta inovatif inheren dengan kepentingan umat.
Jujur, banyaknya lembaga pendidikan milik muhammadiyah di beberapa ranting dan cabang yang mulai kehabisan siswa adalah suatu bukti riil, bahwa lembaga itu kurang mampu memberikan jawaban akan kebutuhan umat. Kendati sebagian berdalih bahwa kita bukan si pemilik ladang. Namun disisi lain banyak pula yang eksis ditengah-tengah ladang yang berbeda. Tentu tinggal bagaimana sistem menanamnya, apa yang ditanam, bibit unggul atau tidak, pemilik ladang kreatif atau tidak, serta dipupuk atau tidak.
Sebuah realitas yang harus segera dipikirkan, dijawab, dan dicarikan solusi bersama, tanpa harus merasa lebih berjasa atau menyalahkan lainnya. Karena hanya akan membuang banyak tenaga dan menghabiskan waktu.
Mari bersama satukan tekad, melangkah bersama membesarkan Muhammadiyah menuju berkemajuan. Bangsa maju dengan majunya muhammadiyah.
*Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Bojonegoro