Ujian Komitmen Kebangsaan Umat Islam
Oleh : Rolly Abdul Rokhman, M.Ag
Atas berkat, rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, maka rakyat Indonesia menyatakan kesungguhanya dengan ini kemerdekaannya. Pernyataan yg termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, telah mendiskripsikan kualitas relijius yg menjadi landasan gagasan dan gerak dalam mewujudkan Indonesia sebagai bangsa, negara yang berdaulat, mandiri serta berkemakmuran atas ridhonya. Konsekuensi dari sikap relijius ini menuntut adanya sikap konsistensi dalam mensyukuri nikmat, menjaga integritas dan keutuhan, berkomitmen dalam menegakkan kebenaran, keadilan, menjamin pemberdayaan kualitas sumber daya insani, sehingga dapat mengggerakkan potensi masyarakat menuju kemandirian dan kemakmuran.
Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebagai anugerah luar biasa bagi umat Islam, artinya negara ini harus menjadi pilot projek prioritas utama bagi umat Islam dalam membangun model kehidupan berperadaban sebagai miniatur penerapan nilai-nilai Islam yang berkemajuan dalam sistem kehidupan, dengan demikian umat Islam berkepentingan sepenuhnya untuk dapat ikut serta didalam memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang adil, makmur, aman, damai dan sentosa.
Untuk mewujudkan cita-cita dan harapan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah dipilihlah sistem kepemimpinan nasional lima tahunan, sistem ini diharapkan akan mendorong terjadinya proses suksesi yang jujur, adil, bermartabat dan memberikan ruang partisipasi, kreasi bagi seluruh potensi bangsa untuk dapat ikut serta dalam mengisi kemerdekaan dengan karya kreatif, inovatif dan bermutu yang bermanfaat dlm meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan.
Sesungguhnya pada Pilpres 2019, umat Islam Indonesia diuji sejauh mana kualitas komitmen kebangsaannya. Namun amatlah meprihatinkan, karena pada proses diawal, umat Islam sudah mulai kehilangan visi kebangsaannya, hal ini ditandai dengan tidak kompaknya partai-partai yang berlabel Islam dalam mengusung capres ataupun cawapres. Pada umumnya mereka itu lebih kedepankan vested interest atau egoisme personal tokoh partainya, katimbang memikirkan masa depan Indonesia yang menjadi surga dunia yg harus dijaga dan dilestarikan utk kemaslahatan.
Memililih pemimpin yang muslim bagi umat Islam hukumnya wajib (Ali Imron:54).artinya, secara teologis, Islam menjamin dan memberi guidamce, bagi setiap muslim wajib memilih pemimpin yang senafas dengan Islam, karena pada diri seorang muslim, telah melekat iman, ilmu dan amaliah berlandaskan nilai Islam, dgn bekal pengalaman ini, maka seorang pemimpin muslim, baik scara teologis ataupun fungsional memiliki pemahaman, komitmen dn sikap yang jelas dan tegas dalam mengawal ajaran Islam, sbagai sistem kehidupan integral dalam sluruh dimensi kehidupan yang berperadaban.Krena itu bagi setiap muslim, waji hukumnya untuk memilih pemimpin muslim. Hal ini dapat juga dimaknai, setiap muslim wajib memilih sosok pemimpin yang berkualitas ke-Islaman dengan baik dan istiqomah dalam menjaga keimanan, keilmuan, amal sholih serta kebermanfaatan dlm mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran.
Egoisme dan fanatisme umat Islam dalam memilih pemimpin, disatu sisi telah menjadi kekuatan pembangun, namun pada sisi yang lainnya berpotensi merusak tatanan kehidupan yang beradab. Pada zaman Now, ummat Islam harus semakin cerdas dan melek dalam dunia politik ini. Terlebih lagi pada pilpres 2019,telah melahirkan narasi politik yang tidak dapat lagi menghargai manusia sbagai pelaku peradaban, yng harus diapresiasi dgn proporsional, namun fakta yang aktual, dalam dunia politik kekinian lebih condong pada adu kekuatan untuk dapat berebut simpati dan dukungan untuk menang dlm kontestasi politik (mobokrasi), hal ini akan dapat merusak sendi-sendi persaudaraan umat Islam.
Negeri ini mempunyai masalah yang jauh lebih besar dan komplek. Apakah itu? Lihatlah masalah ekonomi bangsa, seperti bola setan yg tidak jelas menggelindingnya, penghasilan perkapita amat rendah, daya beli masyarakat amat lemah, pengangguran makin bertambah, harga-harga barang naik terus, penghasilan tidak pernah bertambah. Rupiah semakin tidak berdaya, Investasi Asing dan Aseng tidak lagi terkontrol, bahkan telah mengancam kedaulatan negara. Bukan lagi soal “alpateka” ataupun melangkahi kuburan yang menjadi viral dan fokus bahasan publik menjelang pilpres, bukan pula sekedar untuk membahas diskursus “sontoloyo” dan “tampang atau prejengan’, bukan pula membahas pelabelan Kecebong ataupun Kampret
Menatap bangsa kedepan berarti harus dapat menyelesaikan masalah ekonomi. Bagaimana pengangguran teratasi, harga stabil, kedaulatan pangan terjamin, rupiah tidak anjlok, harga BBM & tarif dasar listrik tidak lagi dinaikkan. Tinggal sekarang, sebelum memilih, anda lebih percaya pada siapa? Prabowo-Sandi atau Jokowi-Ma’ruf yang bisa selesaikan masalah yang komplek dan rumit ini, sadarilah urusan ini lebih urgen. Apabila kita yakin pada Prabowo-Sandi? Maka jangan lagi ambil pusing, pilihlah! Apabila kita percaya Jokowi-Ma’ruf? Ya seperti sekarang ini apa adanya, pilihlah! Sebenarnya sederhana sajalah, gitu aja kok repot-repot dan menyusahkan.
Sebenarnya kita sudah tidak perlu habis energi untuk mengurusi “alpateka” dan “tampang”, Terlalu picik dan ribet mengurusinya. Ingatlah, bangsa ini membutuhkan pemimpin degan dua kriteria: Kapasitas & Integritas, kedua syarat ini mutlak adanya, tidak boleh tidak dan tidak boleh untuk ditawar-tawar lagi, bahkan adanya kedua syarat ini harus menjadi fardlu ‘ain, jangan mencari dalil-dalil lagi, nanti malah bikin “mumet”. Soal kapasitas, pemimpin itu sudah semestinya harus memiliki kemampuan dasar (kompetensi) untuk dapat memahami masalah, problematika kehidupan, dan kebutuhan rakyat, memiliki gagasan orisinal dan strategis untuk dpt menyelesaikan masalah, untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya agar tetap “survive”. Soal kapasitas, segmennya komplek, tidak hanya kerja-kerja-kerja, tapi juga perlu gagasan dan konsep yang handal agar dapat menjamin mutu capaian kerja dan mutu produksinya. Demikian juga, kerja-kerja-kerja itu tidaklah cukup hanya dengan membangun infrastruktur, karena yang menjadi masalah bangsa ini bukan hanya pada infastruktur, tapi pada jaminan rasa keamanan, kenyamanan dan kemakmuran kehidupan.
Sebagai rangkaian usaha dalam membangun negeri tercinta ini, jangan sampai seperti pengobatan model dukun sakti, semua penyakit yang dibawa kehadapannya akan disembuhkan dengan hanya disembur pakai air putih, tiba-tiba sebagian besar pasien yang datang pada sang dukun, saat itu juga akan merasakan efek kesembuhan. Dalam kontek berbangsa, jangan semua masalah bangsa diobati dengan ramuan infrastruktur. Apalagi jika mengandalkan hutang yang belum jelas mau dibayar pakai apa dan siapa nanti yang akan menanggung pembayarannya. Visi bangsa ini harus jelas dan tegas. Didesain berbasis pada pemahaman terhadap kondisi, kebutuhan dan problem bangsa serta orientasi nilai-nilai relijius yg menjadi modal utama dalam usaha membangun bangsa yang beradab. Karena itu pengetahuan dan kesadaran holistik terhadap keadaan dan problem bangsa ini penting agar program dan kebijakan tidak saling beradu kuat dan bertabrakan yang akan berakibat buruk pada kelanjutan proses normal pembangunan bangsa yang selalu bersinergi dan berkelanjutan serta berkemajuan.
Selain kapasitas, tak kalah pentingnya adalah integritas, capres-cawapres mesti jelas, tegas integritasnya. Mengukurnya bagaimana? Pertama, dan ini paling penting, adalah kejujuran. Siapa diantara capres-cawapres yang anda anggap paling jujur, pilihlah! Kriteria jujur itu bisa menjaga lisan dan bisa dipercaya apa yang dikatakan, apabila bicara benar, tidak lagi asal “ngomong doang” dan no action talk only, tapi lupa dan tidak ada niat baik utk mewujudkannya, kalau janji, selalu ditepati, tidak meleset dan ingkar janji. Pada intinya, ucapan dan janji-janji nya pemimpin harus bisa dipegang mulai dari kepala sampai ekornya. Akan sangat berbahaya jika bangsa ini memilih pemimpin tidak jujur, ucapan dan tindakannya amat berbeda bahkan selalu berseberangan. Kalau bicara saja menipu, bagaimana bekerja? Mana diantara pasangan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf yang bisa dipercaya dalam soal ini, maka pilihlah! Sederhana bukan? Jikalau kita masih bernurani dan memakai standar obyektif, bukan egois, pasti mudah menentukan pilihan siapa yang harus dipilih dari pasangan capres dan juga cawapres yang ada pada momentum pemilu ombyokan saat skarang ini, saudaraku..?
Jangan lihat tampang dan penampilan ketika anda memilih pemimpin. Tampang “ndeso” atau “kota” tidak ada hubungannya dengan kapasitas dan integritas. Tampang dan penampilan tidak boleh jadi ukuran dalam memilih pemimpin. Pasti tersesat! Bangsa ini akan jadi korban kalau memilih pemimpin itu berdasarkan “penampilan”, yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang punya “hati”, dan di kepalanya ada “isinya.” Maksudnya ada kecerdasan yang menghasilkan gagasan baru dan orisinil untuk memberikan solusi atas segala masalah bangsa yang terus berkecamuk.
Karena itu, umat Islam jangan ambigu dalam memilih ataupun memutuskan kepemimpinan nasional pada pilpres 2019. Umat Islam amat percaya diri untuk mengandalkan elit poitik dan tokoh-2 Islam, namun faktanya mereka malah mencari jalan sendiri-sendiri untuk kesenangan memuaskan hasratnya dlm berkuasa. Rupanya ummat Islam lebih bisa menikmati pertarungan adu domba dengan sesama muslim yang telah diskenario kmunitas vested interest menjelang pilpres 2019. Kondisi yang demikian ini tidak dapat dibiarkan vegitu saja, namun hrs selalu diwaspadai dan diposisikan pada kerangka yg jelas dan tepat untuk kemaslahatan ummat.
Umat Islam menjadi kelompok penentu pada pilpres 2019, namun nilai tawarnya rendah, karena basis massa umat Islam tidak solid dalam menjaga persaudaraan ber-Islam dan dalam memegang teguh nilai-nilai Islam. Tokoh- tokoh Islam yang bermain dalam kancah politik bukan mewakili umat Islam secara integral, namun lebih cenderung dan dominan mewakili diri sendiri atau kolompok fanatik yang sama sekali tidak mencerminkan kekuatan besar umat Islam, tradisi yang begini ini telah berjalan sepanjang kiprah perjuangan politik umnat Islam Indonesia terutama pasca kemerdekaan.
Semua narasi politik pada pilpres 2019, tidak ditanggapi dengan nalar cerdas dan nurani jernih, namun lebih mengedepankan prasangka buruk dan rasa tidak percaya diri dan orang lain , sehingga mengaburkan nilai substansi yang mencerdaskan& mencerahkan. Proses perdebatan publik pada sosial media yang telah menyuguhkan beragam narasi politik, sebenarnya sebagai cerminan hasil penalaran rendah, namun faktanya malah mendapatkan respon publik yang luar biasa, seolah apa yang disuguhkan sebagai hasil analisis nalar tingkat tinggi. Kondisi yang demikian ini dapat terjadi karena akar rumput memiliki daya nalar politik yang rendah ataupun disebabkan karena ada kekuatan vested interest yang bermain agar dapat mengendalikan opini publik, sehingga akan dengan mudah dikendalikan agar dpat mengefektifkan skenario khusus pilpres 2019.
Contoh kasus yang paling aktual: pada saat Sandiaga Uno berziarah, namun secara tidak sengaja melangkahi makam salah seorang tokoh, maka hal tersebut menjadi bahan cacian dan makian yang amat naif, seolah-olah apa yang dilakukan Sandiaga, menjadi standar kepribadian rendah. Sedangkan pada kasus yang berbeda yang mestinya mendapat apresiasi publik sebagai edukasi, namun yang terjadi malah sebaliknya, minim respon, pada saat Sandiaga rela melepaskan sahamnya di Saritoga dengan nilai jual skitar 535 milyar, untuk operasional pilpres 2019, saat ditanya; apakah tidak rugi, melepaskan saham sebesar itu, Sandiaga menjawab dengan santunnya, apa yang ada pada saya, semuanya pemberian dan milik Allah, kami harus rela melepasnya sebagai wujud syukur atas segala nikmatNya, inikan untuk perjuangan dalam mewujudkan kemaslahatan bersama dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, saya yakin ini sebagai pilihan tepat dan sesuai dengan kehendak Sang Pengatur kehidupan.
Contoh kasus yang selevel, pada saat natalan, Kyai Makruf Amiin, telah memberikan ucapan selamat Natal, peristiwa ini telah mendapat respon yang beragam dari publik.Ada yang Pro, karena hal tersebut dpt mencerminkan kyalitas kenegarwananya, dan ada juga yang kontra, karena sebagai sosok Ketua MUI yang sudah pernah mengeluarkan fatwa haram dlm memberikan ucapan selamat natal kepada ummat yang merayakanya. Padahal persoalan ini, mestinya tidak menimbulkan pro & kontra, namun karena telah masuk dalam ranah politik, maka masalah ini bergulir dipublik bagaikan boka api yang pabas dan menakutkan.
Dalam kontek Pilpres 2019, umat Islam harus mendapatkan pemimpin yang terbaik agar semua aspirasi, gagasan dan harapan umat dalam beragama Islam dapat terejawantahkan dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka umat Islam jangan golput, meskipun galput dianggap sebagai pilihan politik yang paling nyaman dengan keyakinan, karena jika seorang muslim golput, berarti telah rela untuk menyerahkan estafet kepemimpinan nasional ini pada sosok orang yang tidak jelas visi dan kualitasnya, sehingga nanti pada saat memegang tampuk kepemimpinan akan selalu bertentangan dengan aspirasi ataupun bahkan akan menghabisi potensi umat Islam untuk berkembang, sebagaimana yang telah terjadi dibelahan dunia lain.
Ayo memilihlah dengan pilihan yang cerdas, cermat, akurat dan berorientasi pada maslahat umat yang bermartabat. Apabila ada dua calon pemimpin yg sama-sama baiknya, maka pilihlah diantara keduanya yang paling banyak kebaikannya, Apabila terdapat dua calon pemimpin, ada yang baik dan ada yang buruk, maka pilihlah yang baik, apabila ada dua calon pemimpin yang keduanya sama-sama buruk, maka pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
Semua umat Islam pasti berharap, pemimpin yang sudah kita pilih dapat menggunakan apa yang disebut kekuasaan dengan amanah, adil, jujur dan cerdas. Mereka memiliki kecakapan dan kepribadian memimpin dengan baik, tidak gampang didekte oleh hawa nafsu dan tidak pula mudah didekte oleh kelompok-kelompok kepentingan yang hanya mementingkan nafsu syahwat kekuasaan. Karena menjadi pemimpin itu sebagai amanat umat sekaligus sebagai wujud Khalifatul Rabb yang berkewajiban untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi, semoga dengan kecerdasan dan kejujuran dalam memilih pemimpin, umat ini dapat mewujudkan Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur di Negeri-Ku Kesatuan Republik Indonesia Raya Amiin Yaa Mujibassailin.