Renungan Guru Muhammadiyah
Sebuah kebijakan suci perihal keinginan dan keengganan. Di kiaskan orang yang penuh dengan keinginan bagai gelombang beriak-riak di jurang ngarai yang dingin. Bahkan di gunung dan di hutan ia tidak merasakan damai, sedang orang yang berpikiran polos (bahasa kekinian loss) bagai angin sepoi yang keluar dari panas yang menyengat. Bahkan di kota dan pasar kebisingan tak akan didengarkannya. Jika pikiran tenang dan tenteram dan ada keinginan meskipun ujian bertubi tubi, ia tetap dapat santai sekalipun keadaan hiruk pikuk. Bahkan ia tidak goyah karena pujian tinggi.
Pembelajaran yang penting dari kias tersebut, manusia senantiasa mengalami modifikasi genetic. Mencari kenikmatan dan kenyamanan peradaban dalam kehidupan di mayapada ini.
Untuk hal itu perlu adanya ilmu yang kokoh dan mumpuni, Ilmu aplikasi yg diajarkan di sekolah – sekolah Muhammadiyah dengan menghasilkan militansi kader yang tak lekang oleh waktu.
Penulis melihat era pendidikan sekarang massif dengan paradoks. Kedepan, disatu sisi para siswa bergulat dengan teknologi -informasi, sedangkan disisi lain akan senantiasa mengkombinasikan kecerdasan gerak akalnya ataukah yang bergerak / kemampuan kinestika gerak tangan atau digit dalam teknologi.
Sebuah perenungan! seandainya dua hingga tiga tahun ke depan tonggak peradaban revolusi digital 4.1 berhasil tercapai di Indonesia. Keberhasilan memviral menginvasi pada semua aspek budaya kehidupan manusia tidak terkecuali dunia pendidikan.
Maka apakah peran guru Muhammadiyah sebagai “Agent of Change” masih berkibar? Dimanakah posisi Agent of Change saat itu? Maka pada saat itu peradaban olah pikir manusia ada dalam persimpangan sejarah yang sebenarnya. Benarlah apa yang dikawatirkan pendiri dan pencetus pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantaro,” yang dengan mata batinnya menggambarkan mesin kebangkitan milenial awal negeri zamrud khatulistiwa ini dengan jargon Tut Wuri Handayani” menjadi fosil yang abadi. Sedangkan tonggak pendidikan milenial berikutnya, bagaimana “Agent of Change” berkpirah dalam modifikasi genetic siswa milenial Ing Madya Mangun Karso”, ataupun “Ing Ngarso Sung Tulodho”. Kedua jargon terakhir ini menjadi cahaya bintang yang tiada pernah enggan padam dari rasa keinginantahuan!
Siapapun profesi guru tersebut. Jika pikiran tenang dan tenteram dan ada keinginan, ia tetap optimis dapat santai sekalipun di hadapkan hiruk pikuk keadaan sebab menatap dan menata masa depan lebih penting dari pada hanyut dan meratap pada masa lalu.
Tetap semanggat wahai Guru- guru Muhammadiyah, moga tulusmu tak jua pupus senajan tanpa tanda jasa
Ungkapan yang layak menjadi kontemplasi sembari nyruput kopi pagi nikmati liburan yg tinggal beberapa hari .
Penulis: Sugito R (Guru SMP Muhammadiyah 1 Sumberrejo)