Kotak Kosong dan Dominasi Partai Besar di Pilkada 2024
Penulis : Sujatmiko
Kotak kosong dan dominasi partai-partai besar jadi isu paling menarik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dijadwalkan digelar pada 27 November 2024 mendatang. Jeda waktu yang tinggal dua bulan lagi, dijadikan konsolidasi partai-partai yang punya perwakilan di parlemen untuk berkonsolidasi.
Momentum Pilkada Serentak 2024, dari persiapan siapa calon pilihan, calon unggulan hingga calon yang tanda kutip ‘tersingkirkan’. Kata tersingkirkan sengaja menggunakan terminologi, yang berarti calon yang sengaja disingkirkan, dijauhkan hingga calon yang tidak sesuai aspirasi masyarakat.
Juga fenomena menarik, pada Pilkada Serentak 2024 ini, yaitu tentang munculnya kotak kosong. Disebut kotak kosong karena, ada calon di Pilkada yang hanya satu pasangan saja. Jumlahnya sesuai data di Komisi Pemilihan Umum sebanyak 43 daerah yang menyelenggarakan pilkada.
Fenomena kotak kosong yang marak ini, oleh para analis politik jadi cermin kemunduran demokrasi. Itu karena masyarakat seperti dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang tidak ideal. Misalnya kasus Pilkada DKI Jakarta, yang menyedot perhatian publik, yaitu tersingkirnya Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 Anies Rasyid Baswedan. Mantan Menteri Pendidikan era Presiden Joko Widodo ini, tak bisa berkompetisi, akibat fenomena partai politik yang kemungkinan ada interfensi oleh kekuasaan.
Guna mengantisipasi terjadinya kotak kosong, KPU kemudian memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah ini pada 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru, dimana dua daerah terdapat penambahan pasangan calon, sehingga total ada 41 wilayah dengan calon tunggal.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, pilkada kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu.
Khoirunnisa menekankan kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik. Namun bukan pilihan yang ideal karena kemunculannya saat ini ini tak lepas dari tren “koalisi gemuk” di banyak daerah (bbc.com 2/9/2024).
Fenomena kotak kosong dan dominasi partai gemuk ini terjadi di daerah-daerah. Pilkada 2024 di Kabupaten Blora dan Pilkada di Kabupaten Bojonegoro beruntung tidak muncul kotak kosong, meski dari awalnya diprediksi akan muncul. Tetapi, meski terhindar dari kotak kosong, yang muncul adalah fakta yang muncul, yaitu adanya koalisi gemuk yang dipelopori oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.
Pilkada di Blora, memunculkan dua pasangan calon. Yaitu pasangan H Abu Nafi-Andika Adikrishna Gunarjo, yang diusung PDI Perjuangan dan PPP. Kemudian pasangan calon H. Arief Rohman-Sri Setyorini didukung partai-partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, seperti Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, Partai Golka dan partai-partai non-parlemen.
Untuk Pilkada di Kabupaten Bojonegoro, juga kondisinya sama dengan di Kabupaten Blora. Yaitu dominasi partai-partai besar menyokong calonnya. Ada dua calon, yaitu pasangan Teguh Haryono-Farida Hidayati yang didukung PDI Perjuangan dan Partai Perindo dan pasangan Setyo Wahono-Nurul Azizah didukung partai-partai tergabung di KIM plus, yang dipelopori Partai Gerindra, Partai Golkar dan partai lain yang punya wakil di parlemen.
Sebaliknya, jika di Pilkada di Blora dan Bojonegoro yang muncul adalah dominasi partai di KIM plus melawan PDI Perjuangan, justru yang terjadi di Kabupaten Ngawi dan Kota Surabaya yang terjadi adalah sebaliknya. Karena Pilkada di Kota Surabaya dan Kabupaten Ngawi adalah kotak kosong.
Dan yang menarik, bahwa calon yang diunggulkan, di Surabaya yaitu pasangan Eri Cahyadi-Armuji (keduanya adalah petahana Walikota Surabaya dan Wakil Walikota Surabaya) periode 2019-2024. Pasangan ini disokong PDI Perjuangan sebagai partai utama, didukung partai-partai yang tergabung di KIM plus.
Begitu juga yang terjadi di Pilkada 2024 di Kabupupaten Ngawi calon yang diusung melawan kotak kosong. Yaitu pasangan Ony Anwar Harsono dan Wakil Bupat Ngawi Dwi Rianto Jatmiko (calon petahana). Calon ini sponsor utamanya adalah PDI Perjuangan yang juga didukung partai-partai yang tergabung di KIM plus, seperti dari Gerindra, Demokrat, NasDem, PKB, PKS, PSI, Hanura, dan Golkar.
Dengan realitas seperti itu, tentu tidak tepat jika antara KIM plus dengan PDIP berseberangan. Justru yang muncul bukan berseberangan tetapi lebih karena kepentingan. Tepatnya lebih pada kepentingan akan politik praktis.
Jika Kotak Kosong Menang
Fenomena kotak kosong yang menarik parhatian, membuat Komisi II DPR dan KPU RI menggelar rapat dengar pendapat. Temanya membahas landasan hukum terkait kotak kosong jika menang di pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024.
Hasilnya, DPR dan KPU menyepakati apabila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024, maka daerah akan kembali menggelar pilkada pada 2025. Rapat dihadiri Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, pada Selasa, 10 September 2024 lalu.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, daerah dengan pilkada hanya terdiri dari satu pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen, maka pilkada diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni 2025. Hal itu diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (Tempo.co).
Fenomena kotak kosong ini juga menarik diikuti. Pelaksanaan Pilkada pada 27 November 2024 mendatang butuh dicermati. Apakah calon-calon yang diunggulkan dan disokong partai-partai politik itu, betul-betul calon yang aspiratif sesuai harapan rakyat.
Atau apakah calon yang diusung koalisi partai-partai besar pasti menang! Atau bagaimana dengan Pilkada dengan calon lawan kotak kosong, apakah mampu mengumpulkan suara banyak atau sebaliknya justru kotak kosong yang menang. Kita tunggu saja.