Muhammadiyah dalam Pusaran Politik
Oleh: M. Yazid Mar’i (Wakil Ketua PDM Bojonegoro Periode 2022-2027)
Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 ayat (1) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan (harakah) Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid bersumber pada Alquran dan as Sunnah.
Identitas ini menjadikannya tidak bisa dilepaskan dengan perjalanan bangsa dan negara, dan karenanya menuntut Muhammadiyah untuk berkontribusi positif terhadap arah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai hal, termasuk dalam lahirnya kepemimpinan nasional dan kepemimpinan diberbagai tingkatkan, propinsi dan kabupaten/ kota.
Keterlibatan ini tentu bukan dimaknai sebagai politik praktis, melainkan lebih sebagai tanggung jawab moral dan kebangsaan, sekaligus mengawal perjalanan bangsa untuk tetap pada rel cita-cita para pendiri bangsa, yaitu keadilan dan kesejahteraan “politik moral”.
Perihal kehidupan berbangsa dan bernegara, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) menyebut:
1) Warga Muhammadiyah perlu mengambil peran dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/ ahlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat utama yang diridhoi Allah SWT,
2) Beberapa prinsip berpolitik harus ditegakkan dengan sejujur-jujurnya dan sesungguh-sungguhnya,
3) Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan islam serta ihsan kepada sesama dan jangan mengorbankan kepentingan yang lebih luas dan utama demi kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompok yang sempit,
4) Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan keteladanan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar, adil, dan menjauhkan diri dari prilaku politik yang kotor, membawa fitnah, fasad (kerusakan), dan hanya mementingkan diri sendiri,
5) Berpolitik dengan kesalihan, sikap positif, dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya masyarakat utama dengan fungsi amar makruf nahi munkar yang tersistem dalam satu kesatuan yang kokoh.
6) Menggalang silaturrahim dan ukhuwah antar politisi dan kekuatan politik yang digerakkan oleh politisi Muhammadiyah secara cerdas dan dewasa.
PHIWM ini menggambarkan dan menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak alergi terhadap politik dan memberikan kebebasan warganya dalam saluran politik praktis dengan tidak membawa Simbol Muhammadiyah dalam politik praktis. Ini agar Muhammadiyah tetap menjadi payung besar bagi semua kelompok dan golongan seperti yang pernah disampaikan oleh Buya Syafi’i Maarif.
Lalu bagaimana Muhammadiyah menyikapi persoalan politik. Jauh hari Sidang tanwir Muhammadiyah (1939) memandang wadah politik tersebut harus berada di luar struktur kelembagaan Muhammadiyah. Secara terperinci, rumusannya adalah bagi Muhammadiyah (1) politik itu penting, tetapi (2) tidak menjadi bidang garapan Muhammadiyah.
Baru-baru ini Anwar Abas selaku PP Muhammadiyah menyebut bahwa, Muhammadiyah netral dalam politik praktis, akan tetapi Muhammadiyah membebaskan warganya untuk berpolitik. Tetapi mewanti-wanti warga Muhammadiyah untuk tidak menyalahgunakan nama dan simbol organisasi Muhammadiyah untuk mendukung salah satu kontestan tertentu, siapapun itu termasuk dalam pilkada tahun 2024.
Dengan demikian dalam pilkada 2024 Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bojonegoro tentu akan tetap berpegang pada prinsip dan norma yang ada pada organisasi dengan tetap tidak mendukung pasangan calon baik dalam pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur ataupun Bupati/ Wakil Bupati Bojonegoro.
Namun Muhammadiyah Bojonegoro berkepentingan bahwa pemimpin Bojonegoro untuk lima tahun kedepan adalah sosok yang memilki kualitas dan kapabilitas untuk mengelola potensi sumberdaya alam dan potensi lainnya untuk dikembangkan menjadi kelebihan Bojonegoro. Muhammadiyah memandang calon pemimpin tidak sekedar diuji elektabilitasnya saja, tapi juga perlu diuji etikabilitas dan kualitasnya (isi otak dan hatinya).
Etikabilitas bagi sosok calon pemimpin menjadi sisi utama. Sejauh mana ia mampu membawa dirinya dalam kontek moral sosial (jujur, visioner, dan inklusif). Dengan kejujuran ia akan mampu membedakan mana yang menjadi haknya dan tidak, ia tidak rakus, dan kemrungsung dalam melihat keindahan atau sesuatu yang menarik dan menjerumuskannya ke jurang kenistaan. Pemimpin juga harus visioner, memiliki pandangan jauh ke depan untuk menumbuhkan potensi yang ada di daerahnya dan masyarakatnya menjadi kekuatan yang mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Mampu memahami sejarah, dan menghargai pendahulunya, menutup kekurangan masa lalu pemimpinnya dan meneruskan kebaikan pemimpin sebelumnya. Ia juga inklusif bersikap terbuka menerima perbedaan yang ada, siap menerima masukan, bertindak profesional dan proporsional.
Pemimpin Bojonegoro juga harus diuji kualitasnya (isi otaknya) dihadapan Muhammadiyah sebelum berhadapan dengan masyarakat dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Memiliki keilmuan yang mumpuni dan pengalaman yang tidak diragukan sangatlah penting dengan Bojonegoro yang memiliki APBD besar ketiga di Jawa Timur, sementara kemiskinan masih tinggi, dan pertumbuhan ekonominya rendah. Ia harus mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat untuk lima tahun kedepan.
Ittiba’ apa yang dilakukan PP Muhammadiyah dengan mengundang ketiga calon presiden wakil presiden saat pemilu digelar, PDM Bojonegoro
Selasa, 7 September 2024 setelah PDM menerima silaturrahmi calon Bupati dan Wakil Bupati (Teguh-Farida), berikutnya Ahad, 22 September 2024 PDM mendatangkan Wahono Nurul (Wannur). Bagi Muhammadiyah kedatangan kedua calon itu tidak lain untuk mengukur sejauh mana kualitasnya. Ini penting, selain untuk mengukur kemampuannya. Meminjam istilah ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir, Ia berharap warga Muhammadiyah agar tidak terjebak dan memilih calon pemimpin “Gincu, gula-gula” yang indah dan manis diluar, sekedar mengejar popularitas mesti istinya kosong mlompong, ini juga salah satu alasan PD Muhammadiyah mengajak dialog kedua pasangan calon, dan sekaligus sebagai implementasi politik moral Muhammadiyah, politik adi luhung, serta kontribusi positif dalam memberikan pencerahan umat perihal memilih pemimpin. Prinsipnya politik transaksional bukanlah budaya Muhammadiyah.