Muhammadiyah Tua-tua Keladi
Oleh: M.Yazid Mar’i
Muhammadiyah, dalam hitungan tahun hijriyah usianya sudah 108 tahun. Usia yang bisa dibilang uzur untuk hitungan usia manusia. Dalam perspektif sosiologis, tentu makin makinlah matang. Keterlibatan Muhammadiyah dari masa ke masa, adalah bukti eksistensi organisasi ini di tengah masyarakat, bangsa dan negara. Peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang inten terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, hakekatnya merupakan bentuk pendobrakan terhadap pemikiran tradisional yang dalam kaca mata muhammadiyah sebagai penyebab ketertinggalan umat islam dalam berbagai lini kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dalam sisi historis berawal dari kelas menengah atas, melahirkan karakter terbuka dan akomodatif terhadap berbagai bentuk perubahan. Karakter inilah yang pada perkembanganya menjadikan orgnisasi bergerak lincah dalam memainkan peran keumatan dan kebangsaan. Maka bagi Muhammadiyah dengan mencerdaskan umatlah, lambat laun kuantitas muhammadiyah tumbuh dan berkembang. Akan tetapi disisi lain tentu menjadi bumerang bagi kelompok yang menginkan tetap hidupnya faham tradisionalisme di tengah-tengah masyarakat.
Kondisi inilah yang sering kali melahirkan benturan kepentingan, tradisional vs moderat, yang tak jarang harus berseberangan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ukurannya mayoritas dan minoritas “angka/jumlah”.
Problematika ini tentu muhammadiyah harus tetap cerdas, sehingga tidak masuk dalam tarikan-tarikan yang bersifat instant dan jangka pendek. Karenanya penguatan orgsnisasi yang didukung oleh kader-kader yang tumbuh dan berkembang secara terstruktur, terukur, dan berjenjang, tentulah masih menjadi alternatif pilihan dalam mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mungkin dilakukan oleh persyarikatan.
Keberadaan orto muhammadiyah, yang secara historis kelahirannya sebagai pelangsung penyempurna amal usaha muhammadiyah, tentulah harus menjadi perioritas utama program Muhammadiyah. Disisi lain ekonomi muhammadiyah sebagai penyokong gerakan, hendaknya juga menjadi jihad persyarikatan agar tidak ada ketergantungan dalam gerakannya. Karena bagaimanapun jika itu terjadi, secara tidak langsung akan melemahkan daya kritis muhammadiyah yang merupakan ciri dari masyarakat egaliter, sebagai salah satu indikator gerakan berkemajuan. Karena hanya pola pikir dan pola prilaku berkemajuanlah yang dapat menciptakan bangsa yang maju.